Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran  Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada  atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan  politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan  apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang  membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para  penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai  versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa  Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat  terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan  pandangan berbeda-beda.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan  tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik,  berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang  tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu  cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan  salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang  memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana  Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang  beragama Islam.
Nama  lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang,  Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi  Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954)  dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat  Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah  perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut,  ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan  Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat  derajatnya sebagai Wali.
Dalam  naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia  berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang  mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa.  Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan  bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya  kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar  (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya  belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui  Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam  untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat  dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang  berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging  Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo)  dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka  ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung  Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan  Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi  tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu  Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun  1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari  Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang  dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng  Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus  atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang  kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu  Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan  Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I)  yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan  Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam  yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa  penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat  masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran  Siti Jenar.
Konsepsi  Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam  pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo  (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan  dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
Siti  Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana  sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan  di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak  ada asal-usul serta tujuannya;
Hyang  Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan  berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap  sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip  atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari  ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan,  menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui  keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya  yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Siti  Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat,  sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud  penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana,  tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan  yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang  terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
Wujud  lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad  bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat  pancaindera;
Kehendak  angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal  atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan  pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka  disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai  penampilannya;
Bumi  langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk  bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia,  tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan  itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi  dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud  samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti  Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk  lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai  Tuhan;
Sedangkan  mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang  terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha  Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal  kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup  itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan  (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang  busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah  kematian jasad di dunia;
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
Ia  menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata,  dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah  sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula,  tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa  bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu,  hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut  DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat,  akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan  keramah-tamahan;
Tuhan  itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit  dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan  duniawi.
Menurut  buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder,  SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat  sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka  sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja,  kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di  hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang  berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan  membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi  mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti  Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat  Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan  mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai  penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan  dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan  raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya  manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia  bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti  Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh  manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena  proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya  kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono  dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan  dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup,  tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di  kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan  tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah  jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian  luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah,  sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia  tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling  Kawula-Gusti).
Dalam  pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai  sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang  menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung  pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa  dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun  dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan  kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa  hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi  juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di  tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik  sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa  jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran  terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi  spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini  politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang,  yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan  ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan  di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai  Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan  bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan  asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya  dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya  Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat  “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata  untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan  memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan  bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran  yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas  dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya  aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa  pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau  Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan  pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara  konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah  pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk  Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku.  Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting  dalam hidup ini.
Kalau  misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh  pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling  Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok  atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan  tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang  menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa  kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya,  Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman,  yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak  ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri”.*
Sidang para Wali
Sunan  Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan  masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama  tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah  perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan  menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali  teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus  dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan  memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu  hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan  hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian  menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap  para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam  gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri  untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang  baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari  gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti  Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali  yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri  musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini  Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam  pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis  yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan  lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta  jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan  syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual  tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari  percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi  masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada  masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh  disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi  saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti  disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari  kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M.  Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku  Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa mbibingung,
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar,karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar,karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane
Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani
Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh  Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng  sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih  ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni  hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
Sarêng  jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana,  mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan  ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring  wasita.
Kinanti
Wau  kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa,  mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning  kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.
sumber : 
